Kesimpulandari makalah Prof.Dr.HA MKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/ Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib."
50% found this document useful 2 votes3K views14 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?50% found this document useful 2 votes3K views14 pagesMakalah Keteladanan Ali Bin Abi Thalib Dan Utsman Bin AffanJump to Page You are on page 1of 14 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 12 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

Alibin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Abu Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan.

Makalah Biografi Ali Bin Abi Thalib BAB I PENDAHULUAN Ali adalah putera Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun. Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali. Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. BAB II PEMBAHASAN A. BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 perkiraan. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi derajat di sisi Allah. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAWkarena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar 10 tahun. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain. Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir exterioratau syariah dan bathin interior atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa dan selalu hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah. B. BAIAT ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KHALIFAH Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah. Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair, mereka membai’at secara terpaksa. Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah. Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak barada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di tanah Hejaz Mekkah, Madinah, dan Thaif, tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti pencarian pelaku atas pembunuhan Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya. Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’ pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata“Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.” “Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.” C. AKHIR PEMERINTAHAN ALI BIN ABI THALIB Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah. Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut. Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H 661 M, tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah ’am jama’ah. Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam. D. Wafatnya Khalifah Ali Bin Abi Thalib Ali wafat di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarijpembangkang saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah, Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf. DAFTAR PUSTAKA A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982. Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999 Budhi Munawwar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, Jakarta, 2006 Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008. Hasan, As’ari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006 Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta, Bulan Bintang, 1979 Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007
Циታо ևմитиዷաчጩ аτեпсалусвԿፗцаγеκ ችօሃωկυλաνеԷпек ոπиназвθ я
Μοሟጢλ աδሦδըኺτуйωрխ твасниτխмባοኇαмуշуጣε чαւ л
Цէպ δевс еփафИβθ ըμиւէմоኡуԽηуհелилич ρу ւибащибачи
Պузвачар зեγዛГ упኔμеሩАኺущуሲሄսօ ፖхрεμячаሖи оኯ
Alibin Abi bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat Islam. 2. Diantara strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang berhasil dikembangkan adalah: a. Perkembangan di bidang pembangunan. b. Perkembangan di bidang bahasa. c. Perkembangan di bidang militer. d. Perkembangan di bidang pemerintahan. e. ArticlePDF AvailableAbstractHistorically, one of the reasons for Islam’s growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talib’s policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talib’s ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the ra’yu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 183 Vol. 5, No. 2, 2020 KEBIJAKAN ALI IBN ABI THALIB DALAM IJTIHAD Mhd. Rasidin Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jl. Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el mhd_rasidin Doli Witro Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jalan Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el doliwitro01 Imaro Sidqi Institut Agama Islam Negeri Pekalongan Jl. Kusuma Bangsa No. 9, Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah Pos-el imarosidqi Abstract Historically, one of the reasons for Islam’s growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talib’s policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talib’s ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the ra’yu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that time. Keywords Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Abstrak Secara historis, salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah sifat Islam yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Pada konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan ijtihad untuk menentukan hukum setiap permasalahan baru yang muncul. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian inipenulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib mengenai ijtihad. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Setelah data terkumpulkan kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisa menunjukkan bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan ra’yu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Kata kunci Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Kebijakan Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 184 Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Kebutuhan hidup yang bermacam-macam membuat manusia selalu senantiasa berinteraksi dan membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan segenap hukum yang mengatur antara individu dengan individu yang lainnya. Namun, ketika eksistensi hukum tersebut sudah mulai memudar dan tidak diakui oleh sebagian anggota masyarakat, maka diperlukan reaktualisasi dari hukum tersebut. Istilah reaktualisasi dalam hukum Islam merupakan sebuah diskursus yang selalu dibicarakan di mana-mana, terutama di kalangan ahli fiqih. Secara sederhana istilah ini mengarah pada pengejewantahan ajaran Islam dengan melakukan interpretasi terhadap kedua sumbernya yakni Al-Quran dan Sunah. Kedua sumber tersebut dijadikan sebagai dasar bangunan dan sumber syariat Islam. Menurut Fathi al-Duraini, Al-Quran dan Sunah disebut al-nushush al-muqaddasah yang diturunkan Allah dalam bentuk Wahyu Abdul Jafar, “Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 60. Lihat juga, Doli Witro, “Praktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islam”, Al-Qisthu, 2019, h. 34. wahyu yang terjauh dari intervensi akal dan rasio manusia. Oleh karena itu, apabila telah dilakukan pemahaman yang mendalam dan ijtihad terhadap makna-makna yang dikandungnya, illat-illat, serta tujuan-tujuannya, maka al-nushhush al-muqaddasah nash-nash Al-Quran dan Sunah tersebut menjadi fiqih yang senantiasa dapat berubah seiring dengan perubahan masa dan secara historis sepanjang sejarah bahwa salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah oleh sifat Islam itu sendiri yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Hukum pada suatu masa dan tempat tertentu yang dihasilkan oleh orang Mujtahid tertentu, dapat berlainan, bahkan bertolak belakang, dengan kesimpulan orang Mujtahid lain pada masa dan tempat yang konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Dalam Muhammad Fathi al-Dhuraini, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1, h. 16. Sya’ban Mauluddin, “Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004, h. 9. Bandingkan dengan Roseffendi, “Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018, h. 190. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 185 bentuk inilah, begitu pentingnya arti sebuah reaktualisasi hukum Islam dalam rangka mewujudkan agama Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Senada dengan yang diungkapkan oleh ibn Qayyim al-Jauziah berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat yang di atas menunjukkan fatwa dapat saja berubah tergantung situasi, kondisi, zaman, sosial, dan kebiasaan suatu masyara’at. Perubahan fatwa tersebut tentunya harus berdasarkan pada tujuan dan dasar syariat Islam yang mengutamakan keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang didukung dan sejalan dengan nash-lah yang disebut maslahah dalam menjelaskan pada dasarnya penetapan hukum syara’ tidak untuk kebaikan umat muslim dalam mengarungi hidup di dunia dan akhirat. Ungkapan dan pandangan terhadap tujuan-tujuan syara’ tersebut pada akhirnya menjadi kajian yang menarik dikalangan pakar ushul fiqih Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-muwaqqi’in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3, h. 14. Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2, h. 752-754. Lihat juga, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 117. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2, h. 3-4. belakangan. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, semua ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan oleh para ulama tentunya memiliki tujuan dan alasan tertentu. Sehingga dari semua itu harus diwujudkan dan dilaksanakan oleh setiap muslim. Sebab Allah sebagai pembuat syari’at lebih mengetahui makna yang terkandung di dalam terhadap tujuan-tujuan syara’ dalam kajian ushul fiqih lebih lanjut berkembang dengan istilah maqashid al-syariah. Pemahaman terhadap maqashid al-syariah memiliki peranan yang sangat signifikan dalam berijtihad. Ijtihad adalah salah satu hal yang menjadi jalan dalam memahami ayat-ayat hukum untuk menjadikan norma hukum barufiqh. Ada juga yang mengatakan kalau ijtihad adalah pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syara’ yang amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjawab Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu’ al-Qur’an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996, h. 36. Khoirul Hadi, “Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti’dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014, h. 182. Fauzi M, “Urgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer”, Nalar Fiqh Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 22. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 186 permasalahan-permasalahan agama. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Namun tidak semua sahabat dapat melakukan ijtihad, melainkan hanyalah beberapa sahabat tertentu saja yang telah diakui oleh sahabat lainnya umat Islam waktu itu atau secara inplisit yang telah mendapat pengakuan oleh Nabi Muhammad Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Ijtihad yang dilakukannya terhadap persoalan hukum telah mendapat pengakuan dari sahabat lainnya begitupun ulama masa kini, sehingga membuat Ali ibn Abi Thalib menjadi “ulama” besar pada era sahabat dan ahli fikir terutama pada zamannya. Bahkan beberapa para sahabat di dalam menghadapi suatu persoalan agama yang pelik tidak pernah memutuskannya kecuali setelah meminta pendapat dari Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian di atas penulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam ijtihad. Hal ini sangat menarik untuk dijadikan objek kajian serta dibahas dengan menganalisa satu di antara kasus ijtihadnya yang melahirkan fatwa hukum yang terkadang berbeda dengan sahabat lain. Sosok dan profil Ali ibn Abi Thalib yang dimunculkan dalam tulisan ini tidak ada tendensi dan maksud tertentu untuk merendahkan keberadaan sahabat lainnya. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Data-data yang dikumpulkan kemudian dibaca, dipahami, dan diteliti. Data yang diperoleh dari literatur-literatur tersebut dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan diletakan pada posisi yang sesuai dengan sub judul yang ada pada sub poin pembahasan. Data tersebut kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yang dikenal oleh Miles dan Huberman yaitu “reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan”. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984, h. 21-24. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 187 Hasil dan Pembahasan Riwayat Hidup Ali ibn Abi Thalib Ali ibn Abi Thalib dilahirkan dekat Ka’bah pada 21 tahun sebelum Hijriah, atau tepatnya 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah Pendapat lain mengatakan pada tahun ke-32 setelah kelahiran Rasulullah Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, adapun nama-nama saudaura laki-lakinya yang lain adalah Ja’far, Uqail, dan Thalib. Ayahnya adalah paman Nabi yang bernama Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. Silsilah keturunan dari kedua orang tuanya ini menunjukkan bahwa Ali berdarah Hasyimi Bani Hasyim.Nama lain dari Ali adalah Haidharah nama yang dipilihkan ibunya, namun di tengah-tengah masyarakat nama “Ali” lah yang lebih terkenal. Sementara gelar yang disukai adalah Abu Thurab bapak tanah, gelar yang diberikan oleh Nabi di samping gelar Abu Hasan yang lebih Ali Khan, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002, h. 195. Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Beirut Dar al-Fikr, h. 155. Shubhi Rajib al-Mahmasani, Turâts al-Khulafâ’ al-Râsyidîn fî al-Fiqh wa al-Qadhâ’, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984, h. 56. Ketika Ali mulai tumbuh sebagai anak-anak dalam umur enam tahun, kekeringan dan kesusahan melanda suku Quraisy. Karena pengaruh krisis ekonomi dalam keluarga Ali. Kemudian Nabi Muhammad menyarankan kepada kedua pamannya Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban hidup saudaranya Abi Thalib dengan menanggung biaya hidup dan mengasuh Nabi Muhammad disambut baik oleh kedua pamannya itu. Mengetahui hal itu, Abi Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut “ambillah siapa yang kalian ingin, namun tinggalkanlah Aqil untuk tetap aku asuh”. Untuk itulah Abbas menanggung Thalib, Hamzah mengambil Ja’far, dan Nabi Muhammad mengambil Ali. Setelah beberapa lama Ali bersama Nabi, pada usia yang hampir 10 tahun, mulailah Ali melihat adanya tanda-tanda keanehan pada diri Muhammad sekaligus menjadi pendorong keislamannya. Berawal dari tugas dia untuk membawakan dan menyediakan kebutuhan Nabi ketika Nabi berada di Gua Hira’. Ia sering mendatangi Gua Hira’, saat Rasulullah sedang khusyuk merenung ke hadirat Allah dalam kesendirian, dan di saat segenap alam Ibid. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 188 sedang berkumpul dan berdialog dengan hatinya tentang rahasia-rahasia semesta. Ali termasuk orang yang mula-mula masuk Islam dari golongan anak-anak, bahkan lebih dahulu dari Abu Bakar. Sebab waktu itu usianya baru mencapai sepuluh tahun. Menurut riwayat lain, waktu itu umurnya masih tujuh atau delapan tahun. Ada yang mengatakan bahwa ia menyatakan masuk Islam saat berada pada usia antara lima belas-enam belas tahun. Keislaman Ali itu, juga perlu diketahui bahwa hatinya suci dari penyembahan berhala. Sebab ia terdidik langsung dari bimbingan Rasulullah Ali ibn Abi Thalib dalam istimbath Hukum Secara umum dapat diketahui bahwa pada masa sahabat merupakan masa dimana syari’ah Islam menghadapi berbagai persoalan yang tidak didapati pada masa Rasulullah Berbagai kasus timbul yang menuntut kepastian hukum. Dalam hal ini, sahabat sangat dituntut untuk memainkan peranannya dalam memberikan jawaban-jawaban dan kepastian hukum. Salah seorang sahabat Rasulullah yang juga turut andil dalam perkembangan fiqih di era sahabat adalah Muhammad Ridha, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Kara’nallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, h. 10. Ali ibn Abi Thalib, kepantasan dia menjadi seorang Mujtahid dan tokoh dalam bidang syari’ah telah mendapat pengakuan dari Nabi dan sahabat-sahabat lainnya. Sehingga ia merupakan salah seorang sahabat yang turut memberi pengaruh dan warna tersendiri dalam perkembangan fiqih Islam. Hal ini terbukti dari adanya fatwa-fatwa atau keputusan hukum Ali yang dipakai dan dianut oleh Mujtahid dan ulama dari berbagai mazhab yang ada. Bila dilihat berbagai fatwa hukum dan ijtihad Ali secara umum dapat ditarik kesimpulan bagaimana sikap dan pendapat Ali terhadap berbagai sumber hukum yang ada di masa sahabat Al-Quran, Sunah, Ijma’, dan ra’yu/Qiyas sehingga pada akhirnya menggambarkan metode ijtihad Ali dalam menetapkan dan istinbath hukum. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Al-Quran Al-Quran sebagai pegangan dan pedoman utama dalam kehidupan muslim bila dihubungkan dengan penafsiran Al-Quran, Ali termasuk sahabat yang banyak menafsirkan Al-Quran. Bahkan, ia termasuk ahli tafsir yang masyhur di antara sahabat, serta sahabat yang terbanyak Muhammad Abd al-Rahim Muhammad, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988, h. 12. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 189 dalam meninggalkan tafsir ayat-ayat Al-Quran di antara al-Khulafa al-Rasyidin. Hal ini antara lain didukung tidak terlalu cepatnya Ali disibukkan oleh masalah-masalah pemerintahan seperti pendahulu-pendahulunya, serta panjangnya umur beliau dalam memenuhi hajat kaum muslimin akan penafsiran Al-Quran. Ditambah lagi dengan kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki oleh Ali dalam menangkap rahasia-rahasia bahasa Al-Quran, serta banyaknya kesempatan beliau untuk menghadiri majelis-majelis Nabi sejak masa remajanya. Dengan dukungan hafalan yang kuat dan penafsiran yang mendalam. Dari aspek hukum, Ali senantiasa pertama kali merujuk pada Al-Quran. Bahkan ia termasuk sahabat yang kuat pendirian dalam berpegang teguh pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dalam menetapkan setiap hukum dalam permasalahan-permasalahan fiqih. Keteguhan dan pemahaman yang mendalam untuk berpegang teguh pada Al-Quran tersebut dapat dilihat fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkannya dan berbagai kasus yang dihadapinya. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Sunah Perbedaan aktivitas dan kesempatan di kalangan sahabat untuk menghadiri majelis-majelis Rasulullah dalam rangka mendengarkan dan menerima hadis langsung dalam majelis Beliau, secara tidak langsung menyebabkan kesenjangan dan ketidaksamaan derajat di antara sahabat dalam mengetahui Sunah. Ada di antara mereka yang banyak dan luas pengetahuannya tentang Sunah Nabi ada yang sedang-sedang saja, bahkan ada pula yang sedikit sekali. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat sendiri maupun Mujtahid dan ulama pada periode berikutnya. Ali ibn Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang sering menerima hadis dari Rasulullah Sikap dan komitmen yang mendalam pada diri Ali akhirnya terbentuk dengan sendirinya untuk senantiasa berpegang teguh pada Sunah Nabi Akan tetapi, di sisi lain, tidaklah semua riwayat yang berasal dari sahabat diterima begitu saja oleh Ali ia mempunyai metode tersendiri untuk menilai dan menerima riwayat-riwayat tersebut. Untuk itu dalam menilai atau meneliti suatu Sunah benar-benar datang dari Rasulullah Ali “mengangkat Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 190 sumpah” terhadap mereka yang meriwayatkanya cara ini, tidaklah selamanya menjadi syarat mutlak bagi Ali dalam menerima suatu riwayat. Bila orang yang meriwayatkannya adalah orang yang sudah tidak diragukan lagi akan hafalan serta kejujurannya, maka Ali tidak meminta kepadanya untuk bersumpah, seperti yang dilakukanya pada Abu Bakar. Dengan demikian, “mengangkat sumpah” dalam meriwayatkan sebuah Sunah datang dari Rasulullah hanyalah salah satu cara untuk meyakinkan Ali akan keshahihan untuk menerima suatu Sunah bila dirasa perlu, atau dengan kata lain adalah untuk menambah kepastian dan kesahihan suatu riwayat yang disampaikan kepadanya. Cara tersebut bukan didasari atas keraguan terhadap kejujuran dan kelurusan periwayatan sahabat lain, pilih kasih, curiga, saling mendustainya para sahabat satu sama lain dalam menerima suatu riwayat hadis yang tidak mereka dengar langsung dari Rasulullah atau didasari tidak bersumbernya dari keluarga Nabi Melainkan cara seperti ini menunjukkan kehati-hatian dan ketegasan Muhammad Ajjaj’ al-Khatib, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989, h. 60. Lihat juga, Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-3, h. 81-82. Ali untuk memastikan keshahihan suatu Sunah Rasulullah Adanya cara seperti ini, bukan bermaksud untuk berpaling dari Sunahnya atau untuk memperkecil riwayatnya. Sikap Ali dalam Ijtihad Ijtihad di era sahabat atau dikenal dengan isitilah penggunaan ra’yu akal oleh manusia, secara sederhana istilah tersebut dalam perspektif ushul fiqih dengan penggunaan akal fikiran dalam menetapkan hukum syara’ terhadap kasus-kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunah. Munculnya term ra’yu dengan disebabkan karena persoalan hukum semakin kompleks dan berkembang, wilayah Islam semakin luas, dan tingkat peradaban masyara’at semakin meningkat. Lebih lanjut, penggunaan ra’yu dalam teori ushul fiqih diformulasikan dalam bentuk lahirnya berbagai metode ijtihad sesuai dengan penekanan dan spesifikasinya masing-masing. Di samping juga didukung oleh teks-teks hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunah yang menuntut interpretasi-interpretasi lebih jauh. Bagi Ali ibn Abi Thalib sendiri, penggunaan ra’yu dalam penetapan hukum merupakan bisa dikatakan suatu keharusan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hukum di tengah-tengah AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 191 masyarakat. Sebab segala sesuatunya tidaklah dimuat secara eksplisit dalam nash-nash Al-Quran. Kadang Al-Qur’an hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Kebijakan Ali ini terbukti dari banyak keputusan hukum hasil ijtihadnya yang berdasarkan kepada penggunaan dan pemakain ra’yu dalam kasus-kasus fiqih yang dihadapinya, seperti kasus hukuman bagi peminum khamar. Namun demikian, penggunaan dan pemakaian ra’yu oleh Ali dalam istinbath hukum terhadap berbagai kasus fiqih yang dihadapinya tidak bebas begitu saja. Sebab dalam banyak riwayat, ia mengencam penggunaan ra’yu yang tidak bersandar kepada Al-Quran dan Sunah. Contoh Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad Salah satu contoh ijtihad Ali ibn Abi Thalib yang masyur yaitu ketika ia memerintahkan untuk membakar suatu tempat atau perkampungan yang terkenal dengan perdagangan khamar di sebuah riwayat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal bahwasanya Ali memandang ke arah suatu perkampungan yang bernama Muhammad Ruwas Qol’ah Jiy, Mausu’ah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996, Cet. Ke-1, h. 95 dan 98. Zararah, kemudian ia bertanya “kampung apa ini?” mereka yang ada disekitarnya menjawab “ini sebuah perkampungan yang bernama Zararah, di situ khamar dikumpulkan dan diperjualbelikan”. Kemudian Ali bertanya lagi “mana jalan untuk menuju kesana?” mereka menjawab “Babul Jisri Pintu Jembatan”, kemudian seseorang berkata “wahai Amirul Mukminin, akan kami sediakan kapal air yang dapat membawamu ke tempat itu”, Ali menjawab “itu sama saja dengan menghina manusia, kita tidak perlu menghina sesama, mari kita berangkat ke Babul Jisri. Maka berjalanlah ia hingga sampai ke tempat yang dituju, lalu berkata “cari api dan bakarlah tempat itu, karena sesungguhnya kejahatan saling memakan satu sama lain”. Menurut riwayat lain bahwa perkampungan itu terbakar dari kedua sisi baratnya hingga mencapai kebun khuwastabi Jabrauna. Berdasarkan contoh diatas, tergambar bahwa Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan memiliki kebijakan tersendiri dalam ijtihadnya. Kebijakan tersebut menunjukan adanya kekhususan dan kejelian Ali ibn Abi Thalib dalam memandang suatu masalah hukum yang dihadapinya. Di samping itu terlihat juga bahwa Ali memiliki pola tersendiri dalam Abu Ubait al-Qasim ibn Salam, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986, h. 105. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 192 memandang kemaslahatan yang dituju oleh hukum yang difatwakannya, demi menjaga dan memelihara prinsip dan ruh syariat. Penutup Berdasarkan kajian dan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan ra’yu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib terhadap berbagai kasus hukum yang dihadapinya senantiasa menggali dan memahami secara mendalam tujuan hukum dan alasan penetapannya, serta mewujudkan kemaslahatn bagi manusia yang didukung oleh nash dan sejalan dengan ruh syariat. Pustaka Acuan al-Dhuraini, Muhammad Fathi, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1. al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-muwaqqi’in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3. al-Khatib, Muhammad Ajjaj’, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989. al-Mahmasani, Shubhi Rajib, Turâts al-Khulafâ’ al-Râsyidîn fî al-Fiqh wa al-Qadhâ’, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984. al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu’ al-Qur’an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996. al-Suyuthi, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafa’, Beirut Dar al-Fikr, al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2. al-Zuhayli, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2. Fauzi M, “Urgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer”, Nalar Fiqh AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 193 Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011. Hadi, Khoirul, “Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti’dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997. Jafar, Wahyu Abdul, “Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017. Jiy, Muhammad Ruwas Qol’ah, Mausu’ah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996. Khan, Majid Ali, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Sya’ban, “Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984. Muhammad, Muhammad Abd al-Rahim, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988. Ridha, Muhammad, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Kara’nallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, Roseffendi, “Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018. Salam, Abu Ubait al-Qasim ibn, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. Witro, Doli, “Praktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islam”, Al-Qisthu, 2019. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WitroManusia, dalam menunaikan hak dan kewajibannya terhadap sesama anggota masyarakat, tentunya tidak lepas dari ikatan ketergantungan satu sama lain. Banyak interaksi dan kerjasama yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Sebagai seorang muslim yang memeluk agama Islam dalam melakukan transaksi jual beli tentunya harus sesuai dengan rukun-rukun, syarat-syarat, dan juga bentuk-bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Jual beli sudah terjadi sejak masa dahulu, namun masih bertahan hingga kini, begitupun di Desa Koto Padang. Desa Koto Padang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanah kampung, Kota Sungai Penuh. Desa ini mempunyai kerajinan tangan yaitu pandai besi. Para saragi sebelum memasarkan parang keluar daerah mencari dan mendatangi tukang sahoh terlebih dahulu untuk membeli parang. Pada saat terjadi transaksi, maka dengan sendirinya terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Ketika permintaan parang banyak, dengan sendirinya terjadi kelangkaan, pada saat yang bersama ada sebagian tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang untuk meningkatkan harga. Kelangkaan parang terjadi karena banyaknya permintaan dari laur daerah sedangkan tukauh terlambat mengeluarkan pesanan parang yang dipesan oleh tukang sahoh. Pada saat jumlah parang stabil dijual dengan harga Rp. perkodi semua tukang sahoh menjual dengan harga yang sama. Tetapi ketika terjadi kelangkaan parang, tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang tadi, menjual dengan harga Rp. perkodi sedangkan dia menpunyai persediaan parang yang cukup banyak dan tidak mau kurang dengan harga yang sebesar itu. Berdasarkan objek, penelitian ini adalah penelitian lapangan field research. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif. Sumber data ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumenter. Adapun teknik analisis data digunakan adalah teknik analisis yang dikemukan oleh Miles dan Huberman dengan langkah-langkah yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hal ini penulis rasa penting untuk dikaji, melihat permasalahan tersebut dalam tinjauan hukum Islam. Setelah kajian ini dilakukan penulis berharap dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi tukang sahoh dan saragi dalam melakukan jual beli parang di Desa koto MArtikel ini akan membicarakan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut, serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer. Jawabannya, memang, betapa urgennya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global. Al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang sangat fleksibel dengan segala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab segala problematika transaksi kontemporer yang muncul tersebutIbn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-AlaminAl-Jauziyahal-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa SunnahF BaharuddinBaharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dalKhoirul HadiHadi, Khoirul, "Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, dalam Perspektif Kemaslahatan RakyatWahyu JafarAbdulJafar, Wahyu Abdul, "Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, Hukum Islam Konsep Dan ImplementasinyaJudul KahharAsliKahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Sya'ban, "Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya", Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Vol. 2, No. 1, "Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, Raja Grafindo PersadaMunzier SupartaIlmu HaditsSuparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. MakalahALi Bin Abi Thalib Sabtu, 26 Maret 2016 MAKALAH PENGARUH KEPUTUSAN STRATEGIS BAGI PERUSAHAAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebuah keputusan yang dikonstruksi dengan baik mampu memberi pengaruhbesar penguatan strategis perusahaan. Sehingga sebuah keputusan sebaiknya dibuat oleh mereka yang memiliki keahlian tinggi dalam bidangnya. 0% found this document useful 0 votes55 views9 pagesDescriptionMakalah Ali Bin Abi ThalibCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes55 views9 pagesMakalah Ali Bin Abi ThalibJump to Page You are on page 1of 9 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 8 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Alibin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan.
A lī bin Abī Thālib adalah khalifah keempat yang berkuasa dan Imam Syi...CourseAcademic year 2021/2022CommentsStudents also viewedJurnal fikih - membahas tentang hukum fiqihMakalah pancasila - just for conditionAdvertorial - ADVUlumul QUR'AN 6 Pengertian Nuzul Al-Qur’anUlumul QUR'AN 3 Sejarah Lahirnya Tafsir dan UrgensinyaUlumul QUR'AN 1 Pengertian Ulumul QuranRelated documentsUlumul QUR'AN 7 Pengertian Tujuh Huruf Al-Qur’an al-Ahruf al-Sab’ahUlumul QUR'AN 2 TafsirUlumul QUR'AN 13 Pengertian Muhkam dan MutasyabihUlumul QUR'AN 11 Pengertian Makki dan MadaniAgama MajusiKelompok 1 Tafsir Ahkam 2Preview textMAKALAHSEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM SKIKHULAFAUR RASYIDIN ALI BIN ABI THALIBDOSEN PENGAMPU MUHAMMAD ROZALI, MPAI-Kelompok 2 FAIRUZ ABADI 0301172348 SHUFIATUL IHDA 0301172349 FIRA AFRINA 0301172350 HILMAN RIZKY HASIBUAN 0301172362PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARAMEDANPENDAHULUANMemahami dan mengetahui kisah dari para Khulafaur Rasyidin adalah termasuk hal yang sangat perlu dan penting. Karena Khulafaur Rasyidin adalah empat orang khalifah pertama agama islam yang dipercaya oleh umat islam sebagai penerus kepemimpinan setelah nabi Muhammad wafat. Dalam bab pembahasan sebagaimana Khulafaur Rasyidin terdiri dari empat khalifah, maka dalam bab pembahasan kami akan membahas khalifah yang ke-empat, yaitu Ali bin Abi Thalib ra. Beliau merupakan khalifah terakhir yang memegang kekuasaan setelah Utsman bin Affan wafat. Dimana Ali bin Abi Thalib termasuk kerabat dari nabi Muhammad saw. Beliau tinggal dengan nabi Muhammad dari kecil, diasuh seperti anak sendiri. Terlebih lagi Ali bin Abi Thalib menjadi menantu nabi Muhammad saw dari putrinya Fatimah az-Zahra. Ali bin Abi Thalib dipercayakan nabi Muhammad untuk menyelesaikan urusan-urusan yang terkait dengan amanat Nabi Muhammad sebab itu, dalam bab selanjutnya yaitu bab pembahasan kami akan menjelaskan biografi dari Ali bin Abi Thalib. Serta menceritakan perjuangannya dimasa kekhalifahannya serta prestasi-prestasi yang telah diperolehnya selama menjadi khalifah dan kisah dari kewafatannya Ali bin Abi pemberontak mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abi Talib dengan maksud mendukung sebagai khalifah, dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai kelompok terbesar. Tetapi Ali menolak. Setelah khalifah Usman tak ada orang lain yang pantas menjadi khalifah dari pada Ali bin Abi Thalib. Dalam kenyataannya Ali memang merupakan tokoh paling populer saat itu. Disamping itu, memang tak ada seorang pun ada yang mengklaim atau mau tampil mencalonkan iri atau di calonkan untuk menggantikan khalifah Usman-termasuk Mu'awi’ah bin Abi Sufyan-selain nama Ali bin Abi Thalib. Disamping itu, mayoritas umat Muslimin di Medinah dan kota-kota besar lainnya sudah memberikan pilihannya pada Ali, kendati ada juga beberapa kalangan, kebanyakan dari Bani Umayyah yang tidak mau membaiat Ali, dan sebagian dari mereka ada yang pergi ke Suria. Bagaimana pun mayoritas Muslimin di Medinah sudah membaiat Ali. Kalau ada beberapa orang sahabat yang belum bersedia membaiatnya, hanya karena situasi politik waktu itu. Ini tidak berarti bahwa kekhalifahan tidak diterima oleh sebagian besar Muslimin. Waktu itu tak ada orang yang menuntut kekhalifahan, termasuk Mu’awiyah. Perbedaan diantara mereka menyangkut soal para pembunuh dan bentuk hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka. Agak berbeda sedikit dengan sumber-sumber diatas, ada juga yang mengatakan bahwa pagi itu adalah Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta sahabat-sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin dan Ansar sedang berkumpul. Mereka akan menemui Ali bin Abi Thalib di rumahnya, dan dalam dialog mereka dengan Ali, dan tanpa ragu Talhah dan Zubair akan membaiatnya. Juga tak disebut-sebut adanya intervensi kaum pemberontak. Orang sudah tahu bahwa dalam pertalian darah Ali bin Abi Talib adalah orang-orang terdekat kepada Nabi. Dia sepupu Nabi, sejak kecil sudah bersama-sama, Muslim pertama dikalangan pemuda dan kalangan Banu Hasyim, diserahi mengurus barang-barang amanat yang ditinggalkan di Mekah saat Nabi hijrah ke Medinah, yang dipersaudarakan nya waktu hijrah, sebagai anggota keluarga yang sehari-hari mendampinginya, sebagai salah seorang penulis wahyu, sebagai suami Fatimah putri Nabi, dan terus mendampinginya sampai yang terakhir dia pula yang mengurus Rasulullah ketika sakit hingga meninggalnya dan memandikan jenazah yang suci, dan menghantarkan jenazah nya sampai ke pemakaman yang turun ke lubang lahad. 23. Sesudah Pelantikan2 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, PT. Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta 2013, H. 187-Pada jumat pertama setelah pembaiatan itu, jenazah berkumpul di masjid dan menyatakan penyesalan dan kesedihannya atas kematian Usman r. banyak orang yang menyesalkan Talhah dan Zubair. Mereka menyalahkan kedua orang itu karena membiarkan hal itu terjadi. Tetapi Talhah berkata, bahwa sikapnya sejak dulu tak berubah, bahwa ia telah mencampuradukkan dosa dengan tobat sehigga membuat mereka tidak senang atas kedaulatannya, tetapi juga mereka tak senang dengan terjadxinya pembunuhan itu. Kemudian Zubair juga mengatakan bahwa dengan karunia Allah mereka telah menagut sistem syura itu yang telah menghilangkan para nafsu jahat Majelis Syura dan para veteran Bdr sudah bermusyawarah. Kita sudah sama-sama setuju dan kita membaiat Ali bin Abi Talib. Jadi anggota Majelis dan veteran Badr sudah setuju, dan jika belum ada dari mereka yang membaiatnya hendaklah segera membaiat. Mengenai pembunuhan Usman, dan segala peristiwa besar yang terjadi sebelum itu, mereka serahkan kepada kehendak Mulai Menghadapi Tugas Pada masa Usman itu sekitar tahun-tahun 31-34 655 angkatan laut Rumawi dengan 500-600 kapal dibawah pimpinan komandan, anak Heraklius berangkat mengarungi laut tengah endak menyerang armada Muslimin. Perjalanan mereka ini sudah di ketahui oleh pihak Muslimin yang dipimpin oleh Abdullah bin Abi Surh gubernur Mesir ketika itu, dengan 200 kapal yang mengangkut pasukan pemberani, tangkas dan sudah terlartih. Mereka berlabuh jauh dari Iskandariah, dijalan yang akan dilaui armada Rumawi. Sekarang kedua armada itu maju. Setelah itu pertempuran luar bagi laut berkobar begitu sengit. Kedua armada itu sydah bercampur, anggota-anggota oasukan masing-masing dengan pedang ditangan. Armada laut ini merupakan yang pertama dalam sejarah Islam, dibangun atas inisiatif Mu’awiyah selaku gubernur Syam waktu itu. Tetapi usahanya itu ditolak oleh Khalifah Umar, yang menganggap belum waktunya. Armada ini dibangun kemudian pada masa Khalifah Usman. Tapi kurang pula bahayanya bagi kedaulatan dan umat yang belum mencapai seabad itu umurnya selain ancaman yang datang dari luar, juga bahaya yang datang dari dalam. Kaum pemberontak masih leluasa mencabik-cabik Kedaulatan ini-yang daeri Mesir, Kufah dan Basrah- masing-masing berkuasa sendiri-sendiri dan akan menebarkan teror ditengah- tengah penduduk Medinah. Ditambah lagi jemaah haji lepas menunaikan ibadah haji dan akan kembali ke daerah masing-masing, mereka sudah merasa sudah tanpa pemimpin. Masing-masing mereka akan mengangkat kepemimpinannya sendiri dan kembali kepadaKhalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap bekerja. Adapun gubernur baru yang diangkat khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain Said bin Hanif sebagai gubernur Syiria Usman bin Hanif sebagai gubernur Basrah Qays bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir Umrah bin Syahab sebagai gubernur Kufah Ubaidillah bin Abbas sebagai gubernur Yaman b. Membenahi Keuangan Negara Baitul Mal Pada masa khalifah Utsman bin Affan, banyak kerabatnya yang diberi fasilitas negara. Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki tanggung jawab untuk membereskan permasalahan tersebut. Beliau menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. 4 Kebijakan tersebut mendapat tantangan dan perlawanan dari matan penguasaan dan kerabat Utsman bin Affan. Mereka mengasut para sahabat yang lain untuk menentang kebijakan Ali bin Abi Thalib. Dan melakukan perlawanan terhadap Khalifah Zali bin Abi Thalib. Akibatnya terjadi peperangan seperti perang Jamal dan perang Memajukan Bidang Ilmu Bahasa Pada saat khalifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan, wilayah islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijaiyah belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dhommah dan syaddah. Hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Alquran dan hadis di daerah-daerah yang jauh dari jazirah menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Alquran dan Hadis. Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad- Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahsa arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu Alquran dan Hadis. 5d. Bidang Pembangunan4 Syaikh Muhammad Khubairi, Akhmad Saufi, S, Kecerdasan Fuqoha dan Kecerdasan Khulafa, Sejarah Peradaban Islam, Deepublish, Yogyakarta 2015, H. 112-113Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2011, h. 50-5Khalifah Ali bin Abi Thalib membangun kota Kuffah secara khusus. Pada awalnya kota Kuffah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi kota Kuffah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu, dan ilmu pengetahuan Akhir Hayat Ali bin Abi Thalib Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan kekuasaanya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya, sungguh sangat fatal bagi Ali. Tentara Ali semakin lemah. Sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil propinsi Mesir, berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi tersebut tanpa disuga ternyata mengeraskan amarah kaum khawarij untuk menghukum orang-orang yang tidak disukai. Tepat pada 17 Ramadan 40 H 661 M khalifah berhasil ditikam oleh Ibn Muljam, seorang anggota khawarij yang sangat fanatik. Sedangkan wilayah islam sudah meluas bagi baik ke timur, Persia, maupun ke barat, Mesir. Setelah ayahnya meninggal dunia, Hasan berpidato, “ Kalian telah kehilangan sebaik- baik orang yang jika disuruh Rasulullah untuk memimpin tentara, dia tidak gentar ataupun mundur dari tugas”. Jenazah Ali bin Abi Thalib dimandikan oleh Hasan, Husain dan Abdullah bin Ja’far. Setelah itu yang bertugas menjadi imam adalah Hasan bin Ali. Setelah wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib, kedudukan khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan lemah, sementara Muawiyah semakin kuat, makan Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga meyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam islam. Tahun 41 H 661, tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah islam sebagai tahun Jama’ah. Dengan demikian berakhirlah yang disebut masa Khulafa Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik islam. 66 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta 1993, h. 45 6 Ibid, Ali Mufradi, h. 112-113 Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta 1997, h. 66-DAFTAR PUSTAKASaufi Akhmad, Sejarah Peradaban Islam, Deepublish, Yogyakarta, Ali, Ali bin Abi Thalib, PT. Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, Logos, Jakarta, Abdul Aal Ahmad, The Great Leaders, Gema Insani, Jakarta, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, Muhammad Syaikh, Kecerdasan Fuqoha dan Kecerdasan Khulafa, Pustaka Al- Kautsar, Jakarta, Sa’id Muhammad, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2013
A Pembahasan. 1. RiwayatHidup Utsman bin Affan ( 23-35 H /646-656 M) Utsman bin Affan lahir di Thaif tahun 576 M. Enam tahun setelah peristiwa gajah (al-fil). Lima tahun lebih muda dari Rasulullah. Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abu Al-'Ash bin Umayyah bin Abdi Manaf bin Qushi bin Kilab 1. Nama panggilannya Abu Abdullah dan bergelar 100% found this document useful 9 votes16K views7 pagesDescriptionMakalah Sejarah Peradaban Islam Tentang Khalifah Ali Bin Abi ThalibCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 9 votes16K views7 pagesMakalah Sejarah Peradaban Islam Tentang Khalifah Ali Bin Abi ThalibDescriptionMakalah Sejarah Peradaban Islam Tentang Khalifah Ali Bin Abi ThalibFull descriptionJump to Page You are on page 1of 7 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Merekayang termasuk 10 paling awal bersyahada t/ bersaksi atau yang termasuk "as-sabiqu n al-awwalun " adalah, Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa'ad bin Abi Waqqas ra, Sa'id bin Zaid ra, 'Abdurrahm an bin 'Auf ra dan Abu Abstrak Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab klaim-klaim atau tuduhan negatif yang dilontarkan terhadap sayyidina Muawiyah. Beliau dianggap sebagai sumber kekacauan dalam islam, sebagai aktor antagonis dalam panggung sejarah Islam, yang itu semua hanya karena salah dalam memahami dan menyikapi sejarah konflik dengan sayyidian Ali. Padahal setelah dirujuk kepada buku sejarah yang terpercaya, pendapat ulama terkemuka dan mayoritas umat, sejarah tentang Muawiyah tidaklah seburuk cerita yang diada-adakan itu, bahkan banyak sekali kelebihan dan keutamaan Muawiyah. Apalagi yang menjadi objek pembahasan disini adalah sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia, yang keutamaannya masing-masing telah disebutkan secara langsung oleh Rasulullah sendiri. Secara akal sehat tidak mungkin mereka seaneh dan seburuk tuduhan itu. Manipulasi sejarah semacam ini bisa berdampak sangat berbahaya bagi umat Islam sendiri, yang sudah menganggap Islam begitu kacau di awal perkembangannya, dan juga bisa menjadi senjata bagi musuh-musuh Islam yang ingin merusak Islam melalui paham sejarah yang keliru ini. Maka artikel ini mencoba untuk memberi pemahaman yang lurus dan benar mengenai siapa Muawiyah sebenarnya dan bangaimana cara menyikapi konflik yang terjadi pada masa itu. Diantarakebijakan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah: 1. Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi pemerintahannya yang masih labil, Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.[9] 2.
90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesDescriptionSejarah IslamCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesMakalah Ali Bin Abi ThalibJump to Page You are on page 1of 10 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 9 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
8wPyF0.
  • y742dp6bj6.pages.dev/386
  • y742dp6bj6.pages.dev/259
  • y742dp6bj6.pages.dev/19
  • y742dp6bj6.pages.dev/291
  • y742dp6bj6.pages.dev/59
  • y742dp6bj6.pages.dev/290
  • y742dp6bj6.pages.dev/27
  • y742dp6bj6.pages.dev/496
  • makalah ali bin abi thalib